pendidikan ayo! parang no!


Berbagai literatur sejarah menyebutkan perang lebih banyak menghancurkan institusi-institusi sosial daripada memberikan dampak konstruktif. Di Aceh teori ini begitu nyata dalam kehidupan. Institusi pendidikan tak luput dari kehancuran.

Tak hanya fisik institusi pendidikan yang lumat akibat perang. Dampak terbesar pada emosi, yaitu perasaan traumatis dan ketakutan para pendidik dalam mengajar di wilayah-wilayah yang eskalasi konfliknya tinggi.

Anda tentu dapat membayangkan apa yang terjadi dengan pendidikan di Aceh saat 514 guru meninggalkan Aceh dengan alasan keamanan (Kompas, 8 Februari2000)? Dalam kurun itu, Dinas Pendidikan Aceh melaporkan nilai ujian akhir pelajar SD hingga SMA berada pada posisi 22 dari 27 propinsi.

Kondisi tidak kondusif juga memengal konsentrasi belajar. Jamaknya daerah perang, tak sedikit pelajar ‘dipaksa’ menjadi bagian aktor dalam peta konflik. Ironisnya lagi masa belajar mereka ‘dirampas’ untuk menjadi Child soldier.

Kekwatiran lost generation di Aceh cukup beralasan. Bagaimana tidak, dalam lima tahun perang (1998-2003) saja sedikitnya 546 sekolah dibakar (data Dinas Pendidikan Aceh). Belum lagi lebih puluhan kasus penembakkan terhadap guru dan mahasiswa.

Lembar buram pendidikan Aceh akibat perang, turut melampirkan tragedi penembakan para rektor. Prof. DR. Safwan Idris. MA Rektor IAIN Ar Ranirry ditembak 16 September 2000 dan 6 September tahun selanjutnya, Rektor Unsyiah Prof. DR. Dayan Dawood juga ditembak.

Terlalu panjang daftar dampak perang terhadap pendidikan di Aceh, hal di atas hanya sebahagian saja.

Beberapa fakta tersebut menjelaskan bahwa perang Aceh telah memberikan dampak mematikan institusi pendidikan. Saat itu terjadi, ketimpangan proses sosialisasi sekunder tidak terhindarkan. Inilah yang menjadi katalisator sulit berkembang dan berfungsinya tatanan sosial.

Segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat Aceh dalam sejarahnya mengarungi peperangan mempunyai hubungan dengan proses survival institusi pendidikannya. Aceh dalam sejarah awalnya telah melahirkan sejumlah pemikir atau cendekiawan besar antara lain Abdur Rauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Samsudin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry dan lain-lain.

Kelahiran tokoh-tokoh ini terjadi dalam konteks pengembangan tradisi keilmuan dan institusi pendidikan secara keseluruhan di Aceh pada masa itu. Sebelum zaman kolonial Belanda yang melancarkan perang terhadap kesultanan Aceh, “tanah rencong” ini pun telah berjaya membangun Universitas Baitur Rahman. Kejayaan yang tidak sepatutnya dinostalgiakan.

Kembali kepersoalan tidak berfungsi institusi pendidikan. Jika hal ini dilihat dari sudut fungsionalisme, institusi pendidikan mempunyai peranan penting terutama dalam bidang pengajaran, sosialisasi, stratifikasi sosial dan penjagaan, perlindungan terhadap anak-anak.

Perdamaian Impian Kita

Kegagalan anak-anak Aceh dalam Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2005 ini harus menjadi renungan bagi kita semua, bagaimana pendidikan Aceh ke depan. Apalagi jumlah pelajar Aceh yang dinyatakan tidak lulus lebih dari 5.000 orang.

Merujuk keterpurukkan pendidikan Aceh yang diperparah musibah gempa dan tsunami desember tahun lalu, marilah kita bahu membahu mewujudkan perdamaian di Aceh. Apalagi gerbang damai sudah terbuka dari Helsinki.

Peperangan bukan jalan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Perang tidak pernah menjanjikan perdamaian, apalagi eksistensi nilai-nilai kemanusiaan. Perang hanya menghasilkan korban, kerusakan, pembunuhan dan kehancuran peradaban yang sangat dahsyat.

Perang selalu berakhir ketika kehancuran menjadi sebuah nestapa yang disesali. Maka jika kita ingin kedamaian jangan disuarakan perang lagi. Sebaliknya, jika ingin perang jangan mimpikan kedamaian.

Semua kita tentu sepakat, membangun pendidikan Aceh harus dimulai dari perwujudan perdamaian. Perdamaian pula garansi mulusnya jalan rekonstruksi dan rehabilitasi institusi pendidikan.

Peningkatan kapasitas intelektual masyarakat Aceh terbuka lebar dengan menyekolahkan putra-putri ke luar negeri. Peluang beasiswa dari berbagai pihak saat ini penting dimanfaatkan.

Pada pengelola dana pendidikan kita berharap ke depan menggunakan dana pendidikan tepat pada sasarannya. Pengalihan dana pendidikan untuk kepentingan ‘rekreatif’ seperti pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA-2004), kita berharap tidak terulang. Apalagi dana pendidikan yang terpakai tak kurang 12 milyar. Usaha membangun kembali pendidikan di Aceh memerlukan waktu yang lama dan dana yang sangat banyak.

Di ujung pembahasan penulis ingin mengingatkan, tak ada kemajuan pendidikan bila damai tak terwujud.

Grafik: Sekolah yang dibakar di Aceh sejak tahun 1998-2003

Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

* Peneliti muda pada Aceh Institut dan Mahasiswa Magister Sosiologi Fakultas Sains Sosial dan Kemanusian Universiti Kebangsaan Malaysia.

0 komentar:

Posting Komentar

terimakasih.....

 
Powered By Blogger
© Grunge Theme Copyright by ABDULLOH | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks